BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu kalam atau teologi sudah kita kenal sejak zaman
Khulafaur Rasyidin, menurut Harun Nasution kemunculan persoalan kalam dipicu
oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Ustman bin Affan
yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib[1]
Ilmu kalam atau teologi dari masa ke masa mengalami perkembangan yang cukup
pesat, banyak tokoh-tokoh pemikir ilmu kalam bermunculan. Dan memiliki
argumentasi yang berbeda-beda, sehingga persoalan-persoalan yang mengenai ilmu
kalam atau teologi itu sendiri semakin serius untuk dibahas. Karena dari
permasalahan tersebut akan memicu timbulnya pemikiran-pemikiran yang baru dan
tanggapan dari berbagai tokoh-tokoh ilmu kalam itu sendiri.
Dengan
adanya permasalahan-permasalahan tentang ilmu kalam ini akan menambah wawasan
keilmuan bagi para tokoh pemikir itu sendiri maupun bagi orang-orang yang
terlibat dalam keilmuan tersebut. Banyaknya tokoh-tokoh yang memiliki latar
belakang yang berbeda, maka banyak pula pemikiran-pemikiran dari mereka yang
berbeda tentang permasalahan ilmu kalam ini. Sebagai contoh, di dalam makalah
ini insya Allah akan di bahas teologi atau ilmu kalam yang mengacu pada 3 tokoh
yaitu: Harun Nasution , Nurcholis Madjid dan H.M. Rasjidi.
Oleh
karena itu, penulis mencoba mengangkat makalah dengan judul “PEMIKIRAN KALAM di
INDONESIA: HARUN NASUTION, NURCHOLIS MADJID DAN H.M. RASJIDI”. Hal ini sebagai
bahan diskusi, sehingga akan mendapatkan wawasan keilmuan terkait dengan
permasalahan ilmu kalam.
B.
Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
riwayat hidup Harun Nasution?
2. Apa
pemikiran Harun Nasution tentang teologi?
3. Bagaimana riwayat hidup Nurcholis Madjid?
4. Apa
pemikiran Nurcholis Madjid tentang teologi?
5. Bagaimana
riwayat hidup H.M. Rasjidi dan pemikirannya?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Harun Nasution
- Riwayat Singkat Harun Nasution
Harun Nasution
lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di Sumatera. Ayahnya, Jabar Ahmad
adalah seorang ulama yang mengetahui kitab-kitab Jawi. Pendidikan formalnya
dimulai dari sekolah Belanda HIS. Setelah tujuh tahun di HIS, beliau meneruskan
ke MIK (Modern Islamietishe Kweekschool) di Bukittinggi pada tahun 1934.
pendidikannya lalu diteruskan ke Universitas Al-Azhar, Mesir. Sambil kuliah di
Al-Azhar beliau kuliah juga di Universitas amerika di Mesir. Pendidikannya lalu
dilanjutkan ke Mc. Gill, Kanada pada tahun 1962. [2]
Setiba di tanah
air pada tahun 1969 beliau langsung terjun dalam bidang akademisi, yakni
menjadi dosen di IAIN Jakarta, IKIP Jakarta, dan kemudian juga pada Universitas
Nasional. Harun Nasution adalah figur sentral dalam semacam jaringan
intelektual yang terbentuk dikawasan IAIN Ciputat semenjak paruh kedua
dasawarsa 70-an. Sentralitas Harun Nasution di dalam jaringan itu tentu saja
banyak ditopang kapasitas intelektualnya, dan kemudian kedudukan formalnya
sebagai rektor sekaligus salah seorang pengajar di IAIN.[3]
- Pemikiran Harun Nasution
a.
Peranan Akal
Bukanlah secara
kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akal dalam system teologi
Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas Mogill,
Mentreal, Kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi suatu aliran
sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran
Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian: “Akal
melambangkan kekuatan manusia”. Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan
untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal
manusia, bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain.
Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya
untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.[4]
Dalam sejarah Islam,
akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan
ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, akan tetapi dalam perkembangan
ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemikiran akal dalam Islam diperintahkan
Al-Qur’an sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya apabila ada penulis-penulis,
baik di kalangan Islam sendiri maupun di kalangan non-Islam, yang berpendapat
bahwa Islam adalah agama rasional.[5]
b.
Pembaharuan Teologi
Pembaharuan
teologi yang menjadi predikat Harun Nasution. Pada dasarnya dibangun atas
asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga di mana
saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini
serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan lain-lain) yang memandang perlu untuk
kembali kepada teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa
umat Islam dengan teologi fatalistic, irasional, predeterminisme serta
penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan
keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat Islam.
Menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi yang berwatak free-will
rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya
menemukan teologi dalam khazanah Islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.[6]
c.
Hubungan akal dan wahyu
Salah satu focus
pemikiran Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa
hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak
bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang
beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu
bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.[7]
Dalam pemikiran
Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih,
akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks
wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi
interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan
kecenderungan
dan kesanggupan pemberi
interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam
sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu
dengan lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam
Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.[8]
B.
Nurcholis Madjid
1.
Riwayat Singkat Nurcholis Madjid
Prof. DR Nurcholis Madjid yang populer
dipanggil cak Nur lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 dan meninggal di
Jakarta, 29 Agustus 2005 pada umur 66 tahun adalah seorang pemikir Islam,
cendekiawan dan budayawan Indonesia. Ayahnya, KH. Abdul Madjid dikenal dengan
pendukung Masyumi. Setelah melalui pendidikian di berbagai pesantren termasuk
pesantren Gontor Ponorogo beliau menempuh studi kesarjanaan di IAIN Jakarta
(1961 sampai 1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas
Cikago Amerika Serikat (1978-1984) dengan disertasi tentang filsafat dan kalam
Ibnu Taimiyah.
Beliau berjasa ketika bangsa Indonesia
mengalami krisis kepemimpinan pada tahun 1998. beliaulah yang sering diminta nasihat
oleh presiden Soeharto terutama dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan
Mei 1998 di Jakarta setelah indonesia dilanda krisis yang hebat. Atas saran
beliau, akhirnya presiden Soeharto Mengundurkan diri dari jabatannya untuk
menghindari gejolak yang lebih parah.[9]
2.
Pemikiran Nurcholis Madjid
1.
Teologi Pluralisme
Pluralisme Nurcholis Madjid berdiri
tegak atas fundamen ajaran dan nilai etis Al-Qur’an seutuhnya. Teologi ini
berangkat dari kesadaran kemajemukan atau pluralitas umat manusia yang
merupakan kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Tegasnya bahwa Allah
menciptakan umat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar mereka saling
mengenal dan menghargai (QS. 49: 13). Bahwa perbedaan antara manusia
dalam bahasa dan warna kulit merupakan pluralitas yang mesti diterima sebagai
kenyataan yang positif dan merupakan salah satu kebesaran Allah (QS. 30: 22).[10]
Pemahaman yang didasarkan atas kesadaran
kemajemukan secara sosial, religius yang tidak mungkin ditolak, ini lah yang
oleh Nurcholis Madjid disebut pluralisme. Yaitu sistem inilah yang memandang
secara positif optimis dan menerimanya sebagai pangkal tolak untuk melakukan
upaya konstruktif dalam bingkai karya-karya kemanusiaan yang membawa kebaikan
dan kemaslahatan.[11]
Berbicara pemikiran Nurcholis Madjid
tentang pluralisme, sama sekali berbeda jauh dengan definisi pluralisme yang
dipahami dan diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pluralisme (agama):
paham bahwa semua agama sama dan kebenaran setiap agama dalah relatif, setiap
pemeluk agama mengklaim hanya agamanya yang benar atau semua pemeluk agama akan
masuk dan berdampingan di surga.[12]
2.
Kalam Masa Depan
Ada beberapa hal yang secara tentatif
meskipun dengan cara yang agak arbiter, kurang sistematis dapat digunakan
sebagai titik tolak tingkat awal bagi pengembangan metode ilmu kalam.
a. Untuk
menjaga autentisitas.
b. Untuk
memperoleh relevansi dan kreatifitas yang optimal.
c. Secara
tersendiri amat diperlukan memahami dengan tepat dan esensial arti zaman modern
dan modernitas.
d. Salah
satu hasil yang dituju ialah ditemukannya hubungan organik yang mantap antar
iptek dan sistem keimanan Islam.
e. Di
satu segi iptek modern memberi umat manusia kemugkinan besar memperoleh
peningkatan hidup meterial yang luar biasa.
f. Zaman
modern tidak akan merubah fitrah manusia yang memerlukan bimbingan Ilahi bagi
kelangsungan hidupnya.
C. H.M.
Rasyidi
1. Riwayat Hidup H. M Rasyidi
H. Mohamad Rasjidi (Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915
– 30 Januari 2001) adalah mantan Menteri Agama Indonesia pada Kabinet Sjahrir I
dan Kabinet Sjahrir II.Fakultas Filsafat, Universitas Kairo, Mesir (1938)
Universitas Sorbonne, Paris (Doktor, 1956) Guru pada Islamitische Middelbaare
School (Pesantren Luhur), Surakarta (1939-1941) Guru Besar Fakultas Hukum UI
Direktur kantor Rabitah Alam Islami, Jakarta.
Dalam konteks pertumbuhan akademik Islam di Indonesia, orang akan sulit mngesampingkan kehadiran H.M. Rasyidi, lulusan lembaga pendidikan tinggi Islam di Mesir yang mmelanjutkan ke Paris, dan kemudian memperoleh pengalaman mengajar di Kanada. Lepas dari retorika-retorika anti-Baratnya, orang tak akan luput mendapati bahwa hampir keseluruhan kontruksi akademiknya dibangun atas dasar unsur-unsur yang ia dapatkan dari Barat. Maka tidak heran, kalau ia koreksi karya Dr. Harun Nasution tentang Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Bulan Bintang, 1977, Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Media Dakwah, 1979. Kebebasan Beragama, Media Dakwah, 1979. Janji-janji Islam, terjemahan dari Roger Garandy, Bulan Bintang, 1982.[1]
Dalam konteks pertumbuhan akademik Islam di Indonesia, orang akan sulit mngesampingkan kehadiran H.M. Rasyidi, lulusan lembaga pendidikan tinggi Islam di Mesir yang mmelanjutkan ke Paris, dan kemudian memperoleh pengalaman mengajar di Kanada. Lepas dari retorika-retorika anti-Baratnya, orang tak akan luput mendapati bahwa hampir keseluruhan kontruksi akademiknya dibangun atas dasar unsur-unsur yang ia dapatkan dari Barat. Maka tidak heran, kalau ia koreksi karya Dr. Harun Nasution tentang Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Bulan Bintang, 1977, Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Media Dakwah, 1979. Kebebasan Beragama, Media Dakwah, 1979. Janji-janji Islam, terjemahan dari Roger Garandy, Bulan Bintang, 1982.[1]
2. Pemikiran
Kalam H.M Rasyidi
Pemikiran kalam beliau banyak yang berbeda dari
beberapa tokoh seangkatannya. Hal ini dilihat dari keritikan beliau terhadap
Harun Nasution, dan Nurcholis Majid. Secara garis besar pemikiran kalamnya dapat
dikemukakan sebagai berikut:
a.
Tentang perbedaan ilmu kalam dan
teologi.
Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang
menyamakan pengertian ilmu kalam dan teologi. Untuk itu Rasyidi berkata, “…Ada
kesan bahwa ilmu kalam adalah teologi Islam dan teologi adalah ilmu kalam
Kristen.”[2] Selanjutnya Rasyidi menelurusi sejarah kemunculan teologi.
Menurutnya, orang Barat memakai istilah teologi untuk menunjukkan tauhid atau
kalam karena mereka tak memiliki istilah lain. Teologi terdiri dari dua
perkataa, yaitu teo (theos) artinya Tuhan, dan logos, artinya ilmu. Jadi teologi
berarti ilmu ketuhanan. Adapun sebab timbulnya teologi dalam Kristen adalah
ketuhanan Nabi Isa, sebagai salah satu dari tri-tunggal atau trinitas. Namun
kata teologi kemudian mengandung beberapa aspek agama Kristen, yang di luar
kepercayaan (yang benar), sehingga teologi dalam Kristen tidak sama dengan
tauhid atau ilmu kalam.[3]
b.
Tema-tema ilmu kalam
Salah satu tema ilmu kalam Harun Nasution yang
dikritik oleh Rasyidi adalah deskripsi aliran-aliran kalam yang sudah tidak relevan
lagi dengan kondisi umat Islam sekarang, khususnya di Indonesia. Untuk itu,
Rasyidi berpendapat bahwa menonjolnya perbedaan pendapat antara Asy’ariyah dan
Mu’tazilah, sebagaimana dilakukan Harun Nasution, akan melemahkan iman para
mahasiswa. Memang tidak ada agama yang mengagungkan akal seperti Islam, tetapi
dengan menggambarkan bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk, sedangkan
wahyu hanya membuat nilai yang dihasilkan pikiran manusia bersifat
absolute-universal, berarti meremehkan ayat-ayat al-Qur’an seperti:وَاللَّهُ
يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Artinya; “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah: 232). Rasyid kemudian menegaskan pada saat ini, di Barat sudah dirasakan bahwa akal tidak mampu mengetahui baik dan buruk. Buktinya adalah kemunculan eksistensialisme sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme.[4] Rasyidi mengakui bahwa soal-soal yang pernah diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu, masih ada yang relevan untuk masa sekarang, tetapi ada pula yang sudah tidak relevan. Pada waktu sekarang, demikian Rasyidi menguraikan, yang masih dirasakanlah oleh umat Islam pada umumnya adalah keberadaan Syi’ah.[5]
Artinya; “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah: 232). Rasyid kemudian menegaskan pada saat ini, di Barat sudah dirasakan bahwa akal tidak mampu mengetahui baik dan buruk. Buktinya adalah kemunculan eksistensialisme sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme.[4] Rasyidi mengakui bahwa soal-soal yang pernah diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu, masih ada yang relevan untuk masa sekarang, tetapi ada pula yang sudah tidak relevan. Pada waktu sekarang, demikian Rasyidi menguraikan, yang masih dirasakanlah oleh umat Islam pada umumnya adalah keberadaan Syi’ah.[5]
c.
Hakikat iman
Bagian ini merupakan kritikan Rasyidi terhadap
deskripsi iman yang diberikan Nurcholis Madjid, yakni “percaya dan menaruh
kepercayaan kepada Tuhan. Dan sikap apresiatif kepada Tuhan merupakan inti
pengalaman keagamaan seseorang. Sikap ini disebut takwa. Takwa diperkuat dengan
kontak yang kontinu dengan Tuhan. Apresiasi ketuhanan menumbuhkan kesadaran
ketuhanan yang menyeluruh, sehingga menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan
Tuhan.”[6] Menanggapi pernyataan di atas Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan
sekedar menuju bersatunya manusia dengan Tuhan, tetapi dapat dilihat dalam
dimensi konsekuensial atau hubungan dengan manusia dengan manusia, yakni hidup
dalam masyarakat. Bersatunya seseorang dengan Tuhan tidak merupakan aspek yang
mudah dicapai, mungkin hanya seseorang saja dari sejuta orang. Jadi, yang
terpenting dari aspek penyatuan itu adalah kepercayaan, ibada dan
kemasyarakatan.[7]
BAB
III
PENUTUP
Dari
pembahasan di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa:
1. Bagaimana
riwayat hidup Harun Nasution?
2. Apa
pemikiran Harun Nasution tentang teologi?
3. Bagaimana
riwayat hidup Nurcholis Madjid?
4. Apa
pemikiran Nurcholis Madjid tentang teologi?
5. Bagaimana
riwayat hidup H.M. Rasjidi dan pemikirannya?
1.
Harun Nasution
Harun Nasution adalah seorang tokoh
pemikir ilmu kalam/teologi di mana beliau memilki beberapa pemikiran-pemikiran
terkait dengan masalah ini, di antaranya yaitu: beliau pernah menulis bahwa
Akal Melambangkan Kekuatan Manusia, hal ini mengartikan bahwa dengan akal lah
manusia dapat melakukan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan keperluan
hidupnya. Dengan akal manusia dapat mengalahkan makhluk lain, dan bertambah
tingginya akal manusia maka bertambah
tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah
kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi
kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Beliau juga
berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga di
mana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka, maka dari
itu beliau memiliki pemikiran tentang pembaharuan teologi. Beliaupun
berpendapat bahwa ada hubungan antara akal dan wahyu. Akal mempunyai kedudukan
yang tinggi dalam Al-Qur’an, orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa
wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua
permasalahan keagamaan.
2.
Nurcholis Madjid
Nurcholis Madjid adalah seorang teologi
yang memiliki pemikiran dan pandangan tentang pluralisme, akan tetapi terkadang
pemikirannya tersebut bertentangan dengan apa yang menjadi ketentuan pada
umumnya. Contohnya pemikiran beliau ini berlawanan dengan pluralisme yang
diutarakan oleh MUI. Nurcholis Madjid juga mengungkapkan tentang kalam masa
depan, yang berisi prediksi tentang titik tolak tingkat awal bagi pengembangan
metode ilmu kalam.
3.
H.M. Rasyidi
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa H.M.
Rasyidi berpandangan bahwa ilmu kalam sama sekali berbeda dengan teologi.
Beliau tidak sependapat dengan Harun yang sangat mengagungkan akal yang dapat
mengetahui baik dan buruk dilihat dari perkembangan zaman. Tentang iman,
Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan sekedar bersatunya manusia dengan Tuhan,
tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan manusia dengan
manusia, yakni hidup dalam masyarakat. Jadi, yang lebih penting dari aspek
penyatuan itu adalah kepercayaan, ibadah, dan kemasyarakatan.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Rosihon
dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2003.
http://wapedia.mobi/id/Nurcholish_Madjid?t=6.
Diakses tanggal 07 Oktober
2009.
Madjid,
Nurcholis, Ensiklopedi Nurcholis Madjid Pemikiran Di Kanvas Peradaban,
Jakarta: Mizan, 2006.
Madjid,
Nurcholis, Teologi Islam Rasional ”Apresiasi Terhadap Wacana Praktis Harun
Nasution”: Ciputat, 2005.
Mansoer Faqih, Mencari Teologi Tertindas (Kidmat
Dan Kritik) Untuk Guruku Prof. Harun Nasution.
http://www.pornhub.com/view_video.php?viewkey=1c715824da207094607d
[2]Zaim Uchrowi dalam Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu
Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003, h. 240.
[4]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan Jakarta: UI Press, 1983, h. 56.
[6]Mansoer Faqih, Mencari Teologi Tertindas (Kidmat
Dan Kritik) Untuk Guruku Prof. Harun Nasution, dalam Suminto, h.167.
[7]Harun Nasution dalam Anwar. Rosihan dan Abdul Razak, Ilmu
Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003, h. 243.
[1] Nurcholis
Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 61
[2] H.M.
Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution, Tentang “Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 32
[3] H.M.
Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution,…, hal. 33-34
[4] Ibid, hal.
52
[5] Ibid, hlm.
104
[6] H.M.
Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, (Jakarta:
Bulang Bintang, 1977), hlm. 61.
[7] Ibid, hlm.
63
http://H.%20M.%20RASYIDI%20DAN%20HARUN%20NASUTION%20%20TOKOH%20KALAM%20KONTEMPORER%20INDONESIA%20-%20Akidah%20Filsafat.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar