Jumat, 12 Juli 2013



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
      Ilmu kalam atau teologi sudah kita kenal sejak zaman Khulafaur Rasyidin, menurut Harun Nasution kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Ustman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib[1]
      Ilmu kalam atau teologi dari masa ke masa mengalami perkembangan yang cukup pesat, banyak tokoh-tokoh pemikir ilmu kalam bermunculan. Dan memiliki argumentasi yang berbeda-beda, sehingga persoalan-persoalan yang mengenai ilmu kalam atau teologi itu sendiri semakin serius untuk dibahas. Karena dari permasalahan tersebut akan memicu timbulnya pemikiran-pemikiran yang baru dan tanggapan dari berbagai tokoh-tokoh ilmu kalam itu sendiri.
Dengan adanya permasalahan-permasalahan tentang ilmu kalam ini akan menambah wawasan keilmuan bagi para tokoh pemikir itu sendiri maupun bagi orang-orang yang terlibat dalam keilmuan tersebut. Banyaknya tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang yang berbeda, maka banyak pula pemikiran-pemikiran dari mereka yang berbeda tentang permasalahan ilmu kalam ini. Sebagai contoh, di dalam makalah ini insya Allah akan di bahas teologi atau ilmu kalam yang mengacu pada 3 tokoh yaitu: Harun Nasution , Nurcholis Madjid dan H.M. Rasjidi.
Oleh karena itu, penulis mencoba mengangkat makalah dengan judul “PEMIKIRAN KALAM di INDONESIA: HARUN NASUTION, NURCHOLIS MADJID DAN H.M. RASJIDI”. Hal ini sebagai bahan diskusi, sehingga akan mendapatkan wawasan keilmuan terkait dengan permasalahan ilmu kalam.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana riwayat hidup Harun Nasution?
2.      Apa pemikiran Harun Nasution tentang teologi?
3.       Bagaimana riwayat hidup Nurcholis Madjid?
4.      Apa pemikiran Nurcholis Madjid tentang teologi?
5.      Bagaimana riwayat hidup H.M. Rasjidi dan pemikirannya?
















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Harun Nasution
  1. Riwayat Singkat Harun Nasution
Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di Sumatera. Ayahnya, Jabar Ahmad adalah seorang ulama yang mengetahui kitab-kitab Jawi. Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah Belanda HIS. Setelah tujuh tahun di HIS, beliau meneruskan ke MIK (Modern Islamietishe Kweekschool) di Bukittinggi pada tahun 1934. pendidikannya lalu diteruskan ke Universitas Al-Azhar, Mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar beliau kuliah juga di Universitas amerika di Mesir. Pendidikannya lalu dilanjutkan ke Mc. Gill, Kanada pada tahun 1962. [2]
Setiba di tanah air pada tahun 1969 beliau langsung terjun dalam bidang akademisi, yakni menjadi dosen di IAIN Jakarta, IKIP Jakarta, dan kemudian juga pada Universitas Nasional. Harun Nasution adalah figur sentral dalam semacam jaringan intelektual yang terbentuk dikawasan IAIN Ciputat semenjak paruh kedua dasawarsa 70-an. Sentralitas Harun Nasution di dalam jaringan itu tentu saja banyak ditopang kapasitas intelektualnya, dan kemudian kedudukan formalnya sebagai rektor sekaligus salah seorang pengajar di IAIN.[3]
  1. Pemikiran Harun Nasution
a.       Peranan Akal        
Bukanlah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akal dalam system teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas Mogill, Mentreal, Kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi suatu aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian: “Akal melambangkan kekuatan manusia”. Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.[4]
Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, akan tetapi dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemikiran akal dalam Islam diperintahkan Al-Qur’an sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya apabila ada penulis-penulis, baik di kalangan Islam sendiri maupun di kalangan non-Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional.[5]
b.      Pembaharuan Teologi
Pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution. Pada dasarnya dibangun atas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga di mana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan lain-lain) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistic, irasional, predeterminisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat Islam. Menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi yang berwatak free-will rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khazanah Islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.[6]
c.       Hubungan akal dan wahyu
Salah satu focus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.[7]
Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.[8]

B.     Nurcholis Madjid
1.      Riwayat Singkat Nurcholis Madjid
Prof. DR Nurcholis Madjid yang populer dipanggil cak Nur lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 dan meninggal di Jakarta, 29 Agustus 2005 pada umur 66 tahun adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan dan budayawan Indonesia. Ayahnya, KH. Abdul Madjid dikenal dengan pendukung Masyumi. Setelah melalui pendidikian di berbagai pesantren termasuk pesantren Gontor Ponorogo beliau menempuh studi kesarjanaan di IAIN Jakarta (1961 sampai 1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Cikago Amerika Serikat (1978-1984) dengan disertasi tentang filsafat dan kalam Ibnu Taimiyah.
Beliau berjasa ketika bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan pada tahun 1998. beliaulah yang sering diminta nasihat oleh presiden Soeharto terutama dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan  Mei 1998 di Jakarta setelah indonesia dilanda krisis yang hebat. Atas saran beliau, akhirnya presiden Soeharto Mengundurkan diri dari jabatannya untuk menghindari gejolak yang lebih parah.[9]
2.      Pemikiran Nurcholis Madjid
1.      Teologi Pluralisme
Pluralisme Nurcholis Madjid berdiri tegak atas fundamen ajaran dan nilai etis Al-Qur’an seutuhnya. Teologi ini berangkat dari kesadaran kemajemukan atau pluralitas umat manusia yang merupakan kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Tegasnya bahwa Allah menciptakan umat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar mereka saling mengenal dan  menghargai (QS. 49: 13). Bahwa perbedaan antara manusia dalam bahasa dan warna kulit merupakan pluralitas yang mesti diterima sebagai kenyataan yang positif dan merupakan salah satu kebesaran Allah (QS. 30: 22).[10]
Pemahaman yang didasarkan atas kesadaran kemajemukan secara sosial, religius yang tidak mungkin ditolak, ini lah yang oleh Nurcholis Madjid disebut pluralisme. Yaitu sistem inilah yang memandang secara positif optimis dan menerimanya sebagai pangkal tolak untuk melakukan upaya konstruktif dalam bingkai karya-karya kemanusiaan yang membawa kebaikan dan kemaslahatan.[11]
Berbicara pemikiran Nurcholis Madjid tentang pluralisme, sama sekali berbeda jauh dengan definisi pluralisme yang dipahami dan diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pluralisme (agama): paham bahwa semua agama sama dan kebenaran setiap agama dalah relatif, setiap pemeluk agama mengklaim hanya agamanya yang benar atau semua pemeluk agama akan masuk dan berdampingan di surga.[12]
2.      Kalam Masa Depan
Ada beberapa hal yang secara tentatif meskipun dengan cara yang agak arbiter, kurang sistematis dapat digunakan sebagai titik tolak tingkat awal bagi pengembangan metode ilmu kalam.
a.       Untuk menjaga autentisitas.
b.      Untuk memperoleh relevansi dan kreatifitas yang optimal.
c.       Secara tersendiri amat diperlukan memahami dengan tepat dan esensial arti zaman modern dan modernitas.
d.      Salah satu hasil yang dituju ialah ditemukannya hubungan organik yang mantap antar iptek dan sistem keimanan Islam.
e.       Di satu segi  iptek modern memberi umat manusia kemugkinan besar memperoleh peningkatan hidup meterial yang luar biasa.
f.       Zaman modern tidak akan merubah fitrah manusia yang memerlukan bimbingan Ilahi bagi kelangsungan hidupnya.
 C.  H.M. Rasyidi
1.  Riwayat Hidup H. M Rasyidi
H. Mohamad Rasjidi (Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915 – 30 Januari 2001) adalah mantan Menteri Agama Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II.Fakultas Filsafat, Universitas Kairo, Mesir (1938) Universitas Sorbonne, Paris (Doktor, 1956) Guru pada Islamitische Middelbaare School (Pesantren Luhur), Surakarta (1939-1941) Guru Besar Fakultas Hukum UI Direktur kantor Rabitah Alam Islami, Jakarta.
 Dalam konteks pertumbuhan akademik Islam di Indonesia, orang akan sulit mngesampingkan kehadiran H.M. Rasyidi, lulusan lembaga pendidikan tinggi Islam di Mesir yang mmelanjutkan ke Paris, dan kemudian memperoleh pengalaman mengajar di Kanada. Lepas dari retorika-retorika anti-Baratnya, orang tak akan luput mendapati bahwa hampir keseluruhan kontruksi akademiknya dibangun atas dasar unsur-unsur yang ia dapatkan dari Barat. Maka tidak heran, kalau ia koreksi karya Dr. Harun Nasution tentang Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Bulan Bintang, 1977, Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Media Dakwah, 1979. Kebebasan Beragama, Media Dakwah, 1979. Janji-janji Islam, terjemahan dari Roger Garandy, Bulan Bintang, 1982.[1]
2. Pemikiran Kalam H.M Rasyidi
Pemikiran kalam beliau banyak yang berbeda dari beberapa tokoh seangkatannya. Hal ini dilihat dari keritikan beliau terhadap Harun Nasution, dan Nurcholis Majid. Secara garis besar pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut:

a.       Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi.
Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan pengertian ilmu kalam dan teologi. Untuk itu Rasyidi berkata, “…Ada kesan bahwa ilmu kalam adalah teologi Islam dan teologi adalah ilmu kalam Kristen.”[2] Selanjutnya Rasyidi menelurusi sejarah kemunculan teologi. Menurutnya, orang Barat memakai istilah teologi untuk menunjukkan tauhid atau kalam karena mereka tak memiliki istilah lain. Teologi terdiri dari dua perkataa, yaitu teo (theos) artinya Tuhan, dan logos, artinya ilmu. Jadi teologi berarti ilmu ketuhanan. Adapun sebab timbulnya teologi dalam Kristen adalah ketuhanan Nabi Isa, sebagai salah satu dari tri-tunggal atau trinitas. Namun kata teologi kemudian mengandung beberapa aspek agama Kristen, yang di luar kepercayaan (yang benar), sehingga teologi dalam Kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam.[3]
b.      Tema-tema ilmu kalam
Salah satu tema ilmu kalam Harun Nasution yang dikritik oleh Rasyidi adalah deskripsi aliran-aliran kalam yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi umat Islam sekarang, khususnya di Indonesia. Untuk itu, Rasyidi berpendapat bahwa menonjolnya perbedaan pendapat antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah, sebagaimana dilakukan Harun Nasution, akan melemahkan iman para mahasiswa. Memang tidak ada agama yang mengagungkan akal seperti Islam, tetapi dengan menggambarkan bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk, sedangkan wahyu hanya membuat nilai yang dihasilkan pikiran manusia bersifat absolute-universal, berarti meremehkan ayat-ayat al-Qur’an seperti:وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Artinya; “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah: 232). Rasyid kemudian menegaskan pada saat ini, di Barat sudah dirasakan bahwa akal tidak mampu mengetahui baik dan buruk. Buktinya adalah kemunculan eksistensialisme sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme.[4] Rasyidi mengakui bahwa soal-soal yang pernah diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu, masih ada yang relevan untuk masa sekarang, tetapi ada pula yang sudah tidak relevan. Pada waktu sekarang, demikian Rasyidi menguraikan, yang masih dirasakanlah oleh umat Islam pada umumnya adalah keberadaan Syi’ah.[5]
c.       Hakikat iman
Bagian ini merupakan kritikan Rasyidi terhadap deskripsi iman yang diberikan Nurcholis Madjid, yakni “percaya dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan. Dan sikap apresiatif kepada Tuhan merupakan inti pengalaman keagamaan seseorang. Sikap ini disebut takwa. Takwa diperkuat dengan kontak yang kontinu dengan Tuhan. Apresiasi ketuhanan menumbuhkan kesadaran ketuhanan yang menyeluruh, sehingga menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan Tuhan.”[6] Menanggapi pernyataan di atas Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan Tuhan, tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan dengan manusia dengan manusia, yakni hidup dalam masyarakat. Bersatunya seseorang dengan Tuhan tidak merupakan aspek yang mudah dicapai, mungkin hanya seseorang saja dari sejuta orang. Jadi, yang terpenting dari aspek penyatuan itu adalah kepercayaan, ibada dan kemasyarakatan.[7]













BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa:
1.      Bagaimana riwayat hidup Harun Nasution?
2.      Apa pemikiran Harun Nasution tentang teologi?
3.      Bagaimana riwayat hidup Nurcholis Madjid?
4.      Apa pemikiran Nurcholis Madjid tentang teologi?
5.      Bagaimana riwayat hidup H.M. Rasjidi dan pemikirannya?

1.      Harun Nasution
Harun Nasution adalah seorang tokoh pemikir ilmu kalam/teologi di mana beliau memilki beberapa pemikiran-pemikiran terkait dengan masalah ini, di antaranya yaitu: beliau pernah menulis bahwa Akal Melambangkan Kekuatan Manusia, hal ini mengartikan bahwa dengan akal lah manusia dapat melakukan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan keperluan hidupnya. Dengan akal manusia dapat mengalahkan makhluk lain, dan bertambah tingginya akal manusia maka bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Beliau juga berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga di mana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka, maka dari itu beliau memiliki pemikiran tentang pembaharuan teologi. Beliaupun berpendapat bahwa ada hubungan antara akal dan wahyu. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an, orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.

2.      Nurcholis Madjid
Nurcholis Madjid adalah seorang teologi yang memiliki pemikiran dan pandangan tentang pluralisme, akan tetapi terkadang pemikirannya tersebut bertentangan dengan apa yang menjadi ketentuan pada umumnya. Contohnya pemikiran beliau ini berlawanan dengan pluralisme yang diutarakan oleh MUI. Nurcholis Madjid juga mengungkapkan tentang kalam masa depan, yang berisi prediksi tentang titik tolak tingkat awal bagi pengembangan metode ilmu kalam.
3.      H.M. Rasyidi
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa H.M. Rasyidi berpandangan bahwa ilmu kalam sama sekali berbeda dengan teologi. Beliau tidak sependapat dengan Harun yang sangat mengagungkan akal yang dapat mengetahui baik dan buruk dilihat dari perkembangan zaman. Tentang iman, Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan sekedar bersatunya manusia dengan Tuhan, tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan manusia dengan manusia, yakni hidup dalam masyarakat. Jadi, yang lebih penting dari aspek penyatuan itu adalah kepercayaan, ibadah, dan kemasyarakatan.





DAFTAR PUSTAKA

Andito, http://forum.rektor.org. Diakses tanggal 07 Oktober 2009.
Anwar, Rosihon dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2003.
http://wapedia.mobi/id/Nurcholish_Madjid?t=6. Diakses tanggal 07 Oktober 2009.
Madjid, Nurcholis, Ensiklopedi Nurcholis Madjid Pemikiran Di Kanvas Peradaban, Jakarta: Mizan, 2006.
Madjid, Nurcholis, Teologi Islam Rasional ”Apresiasi Terhadap Wacana Praktis Harun Nasution”: Ciputat, 2005.
Mansoer Faqih, Mencari Teologi Tertindas (Kidmat Dan Kritik) Untuk Guruku Prof. Harun Nasution.
http://www.pornhub.com/view_video.php?viewkey=1c715824da207094607d

[1]Rosihon Anwar dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2003, h. 27.
[2]Zaim Uchrowi dalam Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003, h. 240.
[3]Ibid., h. 241.
[4]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan Jakarta: UI Press, 1983, h. 56.
[5]Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1980, h. 101
[6]Mansoer Faqih, Mencari Teologi Tertindas (Kidmat Dan Kritik) Untuk Guruku Prof. Harun Nasution, dalam Suminto, h.167.
[7]Harun Nasution dalam Anwar. Rosihan dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003, h. 243.
[8]Ibid., h. 243
[9]http://wapedia.mobi/id/Nurcholish_Madjid. Diakses tanggal 07 Oktober 2009.
[10]Andito, http://forum.rektor.org. Diakses tanggal 07 Oktober 2009.
[11]Ibid.,
[12]Ibid.,
Mashadi 08.07
[1] Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 61
[2] H.M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution, Tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 32
[3] H.M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution,…, hal. 33-34
[4] Ibid, hal. 52
[5] Ibid, hlm. 104
[6] H.M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, (Jakarta: Bulang Bintang, 1977), hlm. 61.
[7] Ibid, hlm. 63
http://H.%20M.%20RASYIDI%20DAN%20HARUN%20NASUTION%20%20TOKOH%20KALAM%20KONTEMPORER%20INDONESIA%20-%20Akidah%20Filsafat.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar