Jumat, 12 Juli 2013

PERBANDINGAN MADZHAB

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Manusia merupakan makhluk sosial, artinya ia tak kan pernah bisa dan mampu untuk hidup sendiri di alam dunia ini, sehingga tak heran jika setiap manusia pada dasarnya membutuhkan orang lain untuk sekedar menjadi teman bicara, berkeluh kesah, memberikan motivasi disaat rapuh, dan guna memenuhi kebutuhan lainnya.
Maka pernikahan menjadi satu solusi terbaik yang ditawarkan kepada manusia agar rasa kebutuhan tersebut bisa terpenuhi dengan baik, tanpa harus ada yang melanggar hak orang lain, yang dalam hal ini Islam telah mengaturnya sedemikian rupa, agar tercipta kehidupan yang teratur, tentram, damai, serta penuh cinta dan kasih sayang. Namun dibalik kesakralannya, terdapat sekelumit permasalahan yang sifatnya mendasar, yang sampai saat ini masih hangat diperbincangkan di kalangan masyarakat, terlebih di kalangan umat muslim, mengingat bahwa banyak terdapat perbedaan pendapat seputar pernikahan tersebut, contohnya adalah kedudukan wali dan saksi dalam pernikahan yang memang tak secara qoth’i ditetapkan di dalam nash (al-qur’an dan hadits), sehingga banyak perbedaan interpreatsi terhadapnya.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana hukumnya talaq 3 sekaligus?
2.      Bagaimana kedudukan wali dalam akad nikah?
C.     TUJUAN
Agar mahasiswa mengetahui dan memahami kedudukan wali dalam akad nikah dan hukum talak tiga sekaligus.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    TALAK
1.      pengertian
Thalaq ialah melepaskan ikatan nikah dari pihak suami dengan mengucapkan lafadz yang tertentu, misalnya suami berkata kepada isterinya : “Engkau telah ku talak”, dengan ucapan ini ikatan nikah menjadi lepas, artinya suami isteri jadi bercerai. Thalaq merupakan perbuatan halal, namun juga suatu hal yang dibenci Allah,
2.      Rukun Talak
Rukun thalaq ada tiga yaitu :
1.      Suami yang menthalaq, dengan syarat baligh, berakal dan kehendak sendiri.
2.      Istri yang dithalaq.
3.      Ucapan yang digunakan untuk menthalaq.
3.      Menjatuhkan talak 3 dalam satu waktu
Jumhur ulama, diantaranya Imam mazhab yang empat, mazhab dhahiriyah dan lainnya berpendapat talak tiga dalam satu lafazh, hukumnya tetap jatuh tiga. Bahkan Ibnu Mulaqqan, salah seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah bermazhab Syafi’i, mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan talaq tiga sekaligus jatuh satu adalah pendapat syaz (ganjil) yang menyalahi Ahlussunnah dan dari kalangan Salaf, pendapat tersebut hanya diriwayat dari al-Hujjaj bin Arthah dan Muhammad bin Ishaq.  Pernyataan lebih tegas lagi disampaikan oleh Muhammad Amin al-Kurdy. Beliau mengatakan bahwa pendapat talaq tiga pada satu kalimat atau satu majelis akan jatuh satu adalah pendapat yang menyalahi al-Kitab, Sunnah dan ijmak ummat.


- Pendapat Pertama
Dalam sebuah pendapat dinyatakan, ucapan talak suami yang dijatuhkan sekaligus dengan ucapannya : “Saya talak engkau talak tiga”. Ucapan semacam ini mengakibatkan jatuhnya talak tiga. Sebagaimana sebuah riwayat diterangkan sebagai berikut : Artinya : Dari Abi Waqqash RA bahwasanya ia bertanya kepada Ibnu ‘Abbas :Apakah engkau tahu, bahwasanya talak tiga (yang diucapkan sekaligus tiga) itu dihukumkan menjadi talak satu pada zaman Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA. Namun ditetapkan hukumnya menjadi talak tiga pada zaman Khalifah Umar bin Khattab RA? Lalu Ibnu ‘Abbas menjawab : Ya”.
- Pendapat Kedua
Menurut Jumhur fuqaha berbagai negeri berpendapat bahwa thalaq dengan lafadz tiga kali hukumnya adalah hukum talak ketiga.
Ulama Jumhur berdalil dengan Qur’an, Hadist dan ‘Ijma. Adapun dalil dari Qur’an ialah ayat-ayat mengenai talak tidak membedakan antara menjatuhkan satu talak atau lebih. 
Adapun dalil dari hadist, salah satunya adalah Hadist Ibnu Umar menurut sebahagian riwayat, ia berkata : Maka saya bertanya : Wahai Rasulullah, kalau saya telah mentalaknya dengan talak tiga, bolehkah saya rujuk kepadanya ? Rasulullah menjawab : Artinya : “Tidak. Ia sudah ba’in dan kalau rujuk menjadi maksiat”.
Kemudian Hadist Fatimah binti Qais dalam satu riwayat : Artinya : “Suamiku telah mentalak tiga, maka Rasulullah tidak mewajibkannya member tempat tinggal dan nafkat untukku”. Mereka mengatakan : Kalaulah talak itu sama sekali tidak jatuh atau hanya jatuh satu sebagai talak raj’iy, tentulah tidak gugur haknya mengenai tempat tinggal dan nafqah.
- Pendapat Ketiga
Namun, Ahlu Zhahir dan sekelompok ulama mengatakan hukumnya adalah hukum talak sekali, dan lafadz tidak ada pengaruhnya dalam hal itu. Hujjah mereka adalah zhahir firman Allah Ta’ala, “Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali”. (QS. Al-Baqarh 229). Sampai firman-Nya tentang talak ketiga : “Apabila suami mencerainya untuk ketiga kalinya, maka perempuan itu tidak halal baginya hingga kawin dengan suami yang lain”. (QS. Al-Baqarah 230). Orang yang mencerai dengan lafadz yang bermakna cerai sebanyak tiga kali berarti jatuh talak sekali, bukan talak tiga. Mereka juga berhujjah dengan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari, dan Muslim dari Ibnu Abbas, dia mengatakan “Talak di masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan dua tahun dari kekhalifahan Umar, talak dengan lafadz tiga kali adalah satu talak, kemudian Umar memberlakukannya atas orang-orang”.
Mereka juga berhujjah dengan hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dia berkata : “Rikanah mentalak istrinya tiga kali dalam satu majelis, diapun merasa sangat bersedih karenanya, maka Rasulullah SAW bertanya kepadanya, ‘Bagaimana kamu mentalaknya?’ dia menjawab, ‘Aku mentalaknya tiga kali dalam satu majelis’ Beliau besabda, ‘Itu hanyalah satu talak, maka rujuklah kepadanya’.”
B.  KEDUDUKAN WALI BAGI WANITA DALAM AKAD NIKAH
1.    Pengertian wali
Kata "wali" menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu Al-Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata "wali" mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa,… pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin pria). Sedangkan Abdurrahman Al Jaziry mengatakan tentang wali dalam Al Fiqh 'ala Mazaahib Al Arba'ah:
الولى فى النكاح هو : ما يتوقف عليه صحّة العقد فلا يصحّ بدونه٣
"Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali)”.
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan syarat sah nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan tidak sah.
2.    Syarat- syarat wali
Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali. Oleh karena itu maka seorang wali haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai wali. Syarat-syarat tersebut adalah :
1.      Islam ( orang kafir tidak sah menjadi wali)
2.      Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali)
3.      Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali)
4.       Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali)
5.      Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali)
6.      Tidak sedang ihrom atau umroh.
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah mengemukakan beberapa persyaratan wali nikah sebagai berikut :
Syarat-syarat wali ialah merdeka, berakal sehat dan dewasa. Budak, orang gila dan anak kecil tidak dapat menjadi wali, karena orang-orang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain. Syarat kempat untuk menjadi wali ialah beragama Islam, jika yang dijadikan wali tersebut orang Islam pula sebab yang bukan Islam tidak boleh menjadi walinya orang Islam. 5 Allah berfirman:
ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا (النساء\٤ : ١٤١)
Artinya : " … Dan Allah tidak akan sekali-kali memberikan jalan kepada orang kafir menguasai orang-orang mukmin (Q.S. An Nisa: 4/141
Sedangkan dalam buku Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, syarat-syarat menjadi wali adalah:
a.       Beragama Islam
b.      Baligh
c.       Berakal
d.      Tidak dipaksa
e.       Terang lelakinya
f.       Adil (bukan Fasik)
g.      Tidak sedang ihrom haji atau umroh
h.      Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah (Mahjur bissafah).
i.        Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya.
3.      kedudukan wali
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan. Hal ini dikarenakan tidak adanya satu ayat atau pun hadits yang secara tegas mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan. Selain itu hadits-hadits yang dipakai oleh para fuqaha masih diperselisihkan keshahihannya kecuali hadits Ibnu Abbas.
Berikut ini akan diuraikan beberapa pendapat para ulama mengenai kedudukan wali dalam pernikahan, yaitu:
a. Jumhur ulama, Imam Syafi'I dan Imam Malik
Mereka berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan dan tak ada perkawinan kalau tak ada wali. Oleh sebab itu perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal).16 Alasan yang mereka kemukakan, diantaranya:
1. Q.S. An Nur/24 : 3
Artinya : "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki perempuan..."
2. Hadits Nabi SAW dari Abi Musa Al Asy'ari.
Artinya : “Dari Abi Musa Al- Asy'ari dari Ayahnya ra berkata Rasulullah SAW bersabda : "Tidak ada suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali" (HR. Ahmad dan Imam Empat dan dibenarkan Ibnu Madini dan At- Turmudzi dan Ibnu Hiban)
Jumhur berpendapat bahwa hadits ini secara dzahir menafikan (meniadakan) keabsahan akad nikah tanpa wali dan bukan menafikan sempurnanya akad nikah.
3. Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah
Artinya: " Dari Aisyah ra berkata : Rasulullah SAW bersabda: "Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika perempuan itu telah disetubuhi, maka dia berhak menerima mahar dengan sebab persetubuhan itu. Maka jika para wali enggan (berselisih), maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada wali." (HR. Ahmad).
Hadits diatas mengandung beberapa pengertian
- Akad nikah yang dilaksanakan tanpa wali , maka hukumnya batal
- Melakukan persetubuhan atas dasar menganggap akan halalnya mewajibkan kepada laki-laki
pelaku untuk membayar mahar mitsil.
- Wanita yang berselisih dengan walinya atau gaib atau memang tidak ada wali, maka sulthanlah walinya atau wali hakim.Selain itu mereka berpendapat perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan, sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya. Karena itu ia tidak pandai memilih , sehingga tidak dapat memperoleh tujuan –tujuan utama dalam hal perkawinan ini. Hal ini mengakibatkan ia tidak diperbolehkan mengurus langsung aqadnya tetapi hendaklah diserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan ini benar-benar tercapai dengan sempurna.
b. Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi)
Mereka berpendapat bahwa jika wanita itu telah baligh dan berakal, maka ia mempunyai hak untuk mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Alasan yang mereka kemukakan antara lain:
1. Q.S. Al- Baqarah : 2/232
Artinya : " Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya…"
Menurut mereka ayat diatas merupakan dalil mengenai kebolehan bagi wanita untuk mengawinkan dirinya sendiri.
2. Dari Hadits Ibnu Abbas r.a. yang telah disepakati shahihnya, yaitu:
Artinya: " Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Nabi SAW bersabda: "Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan anak gadis diminta pertimbangannya dan izinnya adalah diamnya. Dan pada suatu riwayat Abu Daud dan An- Nasa'I: "Tidak ada urusan wali terhadap janda; dan gadis yang tidak mempunyai Bapak (yatimah)"(HR. Bukhori dan Muslim).
Hadits ini memberikan hak sepenuhnya kepada wanita (janda) mengenai urusan dirinya dan meniadakan campur tangan orang lain dalam urusan pernikahannya. Sedangkan untuk gadis apabila dimintai persetujuannya, karena ia masih pemalu maka cukup dengan diamnya Hal ini dianggap sebagai jawaban persetujuannya.
Selain itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat dalam akad nikah. Beliau menganalogikan dimana kalau wanita sudah dewasa, berakal dan cerdas mereka bebas bertasarruf dalam hukum-hukum mu'amalat menurut syara', maka dalam akad nikah mereka lebih berhak lagi, karena nikah menyangkut kepentingan mereka secara langsung.
Menurut beliau juga, walaupun wali bukan syarat sah nikah, tetapi apabila wanita melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak sekufu dengannnya, maka wali mempunyai hak I'tiradh (mencegah perkawinan).
Selanjutnya Imam-imam yang lain pun berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan,20 di antaranya:
a. Daud Dzahiry
Beliau berpendapat bahwa bagi janda, wali tidak menjadi syarat dalam akad nikah, sedangkan bagi gadis wali menjadi syarat
b. Asy- Sya'bi dan Az- Zuhry
Mereka berpendapat bahwa wali menjadi syarat kalau calon suami tidak sekufu' dengan calon istri, sebaliknya kalau calon suami sekufu', maka wali tidak menjadi syarat.
c. Abu Tsur
Beliau berpendapat bahwa nikah sah apabila wali memberi izin dan batal kalau wali tidak memberi izin.
3.    Macam- macam wali
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu wali nasab, wali hakim dan muhakkam, Dibawah ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai ke-3 macam wali tersebut.
1. Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali.
Wali nasab urutannya adalah:
1. Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas
2. Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak)
3. Saudara laki-laki sebapak
4. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak an seterusnya ke bawah
6. Paman (saudara dari bapak) kandung
7. Paman (saudara dari bapak) sebapak
8. Anak laki-laki paman kandung
9. Anak laki-laki paman sebapak dan seterusnya ke bawah.
2. Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila:
1.      Calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
2.      Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
3.      Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada.
4.      Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
5.      Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
6.      Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.
7.      Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
8.      Walinya gila atau fasik.
Apabila terjadi hal-hal seperti diatas, maka wali hakim berhak untuk menggantikan wali nasab. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali sehingga orang lain yang diberikan kekuasaan untuk mewakilkan wali nasabnya berhak menjadi wali.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.
3. Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.
Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.
Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim, padahal ditempat itu tidak ada wali hakimnya, maka pernikahan dilangsungkan dengan wali muhakkam. Caranya ialah kedua calon suami-istri mengangkat seorang yang mempunyai pengertian tentang hukum-hukum untuk menjadi wali dalam pernikahan mereka.






















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Thalaq ialah melepaskan ikatan nikah dari pihak suami dengan mengucapkan lafadz yang tertentu. Jumhur ulama, diantaranya Imam mazhab yang empat, mazhab dhahiriyah dan lainnya berpendapat talak tiga dalam satu lafazh, hukumnya tetap jatuh tiga. Bahkan Ibnu Mulaqqan, salah seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah bermazhab Syafi’i, mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan talaq tiga sekaligus jatuh satu adalah pendapat syaz (ganjil) yang menyalahi Ahlussunnah dan dari kalangan Salaf, pendapat tersebut hanya diriwayat dari al-Hujjaj bin Arthah dan Muhammad bin Ishaq.
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan. Hal ini dikarenakan tidak adanya satu ayat atau pun hadits yang secara tegas mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan. Selain itu hadits-hadits yang dipakai oleh para fuqaha masih diperselisihkan keshahihannya kecuali hadits Ibnu Abbas.













DAFTAR PUSTAKA
Ø  Al Quranul Karim
Ø  Abd Aziz et.al, Ensiklopedi Hukum Islam,
Ø  Kompilasi Hukum Islam
Ø  Hosen, Ibrahim, FIQH PERBANDINGAN DALAM MASALAH NIKAH-THALAQ-RUDJUK DAN HUKUM KEWARISAN jilid 1, (Jakarta: Balai Penertbitan & Perpustakaan Islam Yayasan Ihya ‘ulmiddin Indonesia, 1971), cet. Ke-1.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar