BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Manusia merupakan makhluk sosial, artinya ia tak kan pernah bisa dan mampu
untuk hidup sendiri di alam dunia ini, sehingga tak heran jika setiap manusia
pada dasarnya membutuhkan orang lain untuk sekedar menjadi teman bicara,
berkeluh kesah, memberikan motivasi disaat rapuh, dan guna memenuhi kebutuhan
lainnya.
Maka pernikahan menjadi satu solusi terbaik yang ditawarkan kepada manusia
agar rasa kebutuhan tersebut bisa terpenuhi dengan baik, tanpa harus ada yang
melanggar hak orang lain, yang dalam hal ini Islam telah mengaturnya sedemikian
rupa, agar tercipta kehidupan yang teratur, tentram, damai, serta penuh cinta
dan kasih sayang. Namun dibalik kesakralannya, terdapat sekelumit permasalahan
yang sifatnya mendasar, yang sampai saat ini masih hangat diperbincangkan di
kalangan masyarakat, terlebih di kalangan umat muslim, mengingat bahwa banyak
terdapat perbedaan pendapat seputar pernikahan tersebut, contohnya adalah
kedudukan wali dan saksi dalam pernikahan yang memang tak secara qoth’i
ditetapkan di dalam nash (al-qur’an dan hadits), sehingga banyak perbedaan
interpreatsi terhadapnya.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
hukumnya talaq 3 sekaligus?
2. Bagaimana
kedudukan wali dalam akad nikah?
C. TUJUAN
Agar mahasiswa
mengetahui dan memahami kedudukan wali dalam akad nikah dan hukum talak tiga
sekaligus.
BAB II
PEMBAHASAN
A. TALAK
1. pengertian
Thalaq ialah melepaskan ikatan nikah
dari pihak suami dengan mengucapkan lafadz yang tertentu, misalnya suami
berkata kepada isterinya : “Engkau telah ku talak”, dengan ucapan ini ikatan
nikah menjadi lepas, artinya suami isteri jadi bercerai. Thalaq merupakan
perbuatan halal, namun juga suatu hal yang dibenci Allah,
2. Rukun Talak
Rukun thalaq ada tiga yaitu :
1.
Suami yang menthalaq, dengan syarat
baligh, berakal dan kehendak sendiri.
2.
Istri yang dithalaq.
3.
Ucapan yang digunakan untuk
menthalaq.
3. Menjatuhkan
talak 3 dalam satu waktu
Jumhur ulama, diantaranya Imam
mazhab yang empat, mazhab dhahiriyah dan lainnya berpendapat talak tiga dalam
satu lafazh, hukumnya tetap jatuh tiga. Bahkan Ibnu Mulaqqan, salah seorang
ulama Ahlussunnah wal Jama’ah bermazhab Syafi’i, mengatakan bahwa pendapat yang
mengatakan talaq tiga sekaligus jatuh satu adalah pendapat syaz (ganjil) yang
menyalahi Ahlussunnah dan dari kalangan Salaf, pendapat tersebut hanya diriwayat
dari al-Hujjaj bin Arthah dan Muhammad bin Ishaq. Pernyataan lebih tegas lagi disampaikan oleh
Muhammad Amin al-Kurdy. Beliau mengatakan bahwa pendapat talaq tiga pada satu
kalimat atau satu majelis akan jatuh satu adalah pendapat yang menyalahi al-Kitab,
Sunnah dan ijmak ummat.
- Pendapat Pertama
Dalam sebuah
pendapat dinyatakan, ucapan talak suami yang dijatuhkan sekaligus dengan
ucapannya : “Saya talak engkau talak tiga”. Ucapan semacam ini mengakibatkan
jatuhnya talak tiga. Sebagaimana sebuah riwayat diterangkan sebagai berikut :
Artinya : Dari Abi Waqqash RA bahwasanya ia bertanya kepada Ibnu ‘Abbas :Apakah
engkau tahu, bahwasanya talak tiga (yang diucapkan sekaligus tiga) itu
dihukumkan menjadi talak satu pada zaman Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA. Namun
ditetapkan hukumnya menjadi talak tiga pada zaman Khalifah Umar bin Khattab RA?
Lalu Ibnu ‘Abbas menjawab : Ya”.
- Pendapat Kedua
Menurut Jumhur fuqaha berbagai
negeri berpendapat bahwa thalaq dengan lafadz tiga kali hukumnya adalah hukum
talak ketiga.
Ulama Jumhur berdalil dengan Qur’an,
Hadist dan ‘Ijma. Adapun dalil dari Qur’an ialah ayat-ayat mengenai talak tidak
membedakan antara menjatuhkan satu talak atau lebih.
Adapun dalil dari hadist, salah
satunya adalah Hadist Ibnu Umar menurut sebahagian riwayat, ia berkata : Maka
saya bertanya : Wahai Rasulullah, kalau saya telah mentalaknya dengan talak
tiga, bolehkah saya rujuk kepadanya ? Rasulullah menjawab : Artinya : “Tidak.
Ia sudah ba’in dan kalau rujuk menjadi maksiat”.
Kemudian Hadist Fatimah binti Qais
dalam satu riwayat : Artinya : “Suamiku telah mentalak tiga, maka Rasulullah
tidak mewajibkannya member tempat tinggal dan nafkat untukku”. Mereka
mengatakan : Kalaulah talak itu sama sekali tidak jatuh atau hanya jatuh satu
sebagai talak raj’iy, tentulah tidak gugur haknya mengenai tempat tinggal dan
nafqah.
- Pendapat Ketiga
Namun, Ahlu Zhahir dan sekelompok
ulama mengatakan hukumnya adalah hukum talak sekali, dan lafadz tidak ada
pengaruhnya dalam hal itu. Hujjah mereka adalah zhahir firman Allah Ta’ala,
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali”. (QS. Al-Baqarh 229). Sampai
firman-Nya tentang talak ketiga : “Apabila suami mencerainya untuk ketiga
kalinya, maka perempuan itu tidak halal baginya hingga kawin dengan suami yang
lain”. (QS. Al-Baqarah 230). Orang yang mencerai dengan lafadz yang bermakna
cerai sebanyak tiga kali berarti jatuh talak sekali, bukan talak tiga. Mereka
juga berhujjah dengan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari, dan Muslim dari
Ibnu Abbas, dia mengatakan “Talak di masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan dua
tahun dari kekhalifahan Umar, talak dengan lafadz tiga kali adalah satu talak,
kemudian Umar memberlakukannya atas orang-orang”.
Mereka juga berhujjah dengan hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dia berkata : “Rikanah mentalak istrinya tiga kali dalam satu majelis, diapun merasa sangat bersedih karenanya, maka Rasulullah SAW bertanya kepadanya, ‘Bagaimana kamu mentalaknya?’ dia menjawab, ‘Aku mentalaknya tiga kali dalam satu majelis’ Beliau besabda, ‘Itu hanyalah satu talak, maka rujuklah kepadanya’.”
Mereka juga berhujjah dengan hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dia berkata : “Rikanah mentalak istrinya tiga kali dalam satu majelis, diapun merasa sangat bersedih karenanya, maka Rasulullah SAW bertanya kepadanya, ‘Bagaimana kamu mentalaknya?’ dia menjawab, ‘Aku mentalaknya tiga kali dalam satu majelis’ Beliau besabda, ‘Itu hanyalah satu talak, maka rujuklah kepadanya’.”
B. KEDUDUKAN
WALI BAGI WANITA DALAM AKAD NIKAH
1. Pengertian
wali
Kata
"wali" menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu Al-Wali dengan
bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan
menurut istilah, kata "wali" mengandung pengertian orang yang menurut
hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak
itu dewasa,… pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah
(yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin pria). Sedangkan Abdurrahman
Al Jaziry mengatakan tentang wali dalam Al Fiqh 'ala Mazaahib Al Arba'ah:
الولى فى
النكاح هو : ما يتوقف عليه صحّة العقد فلا يصحّ بدونه٣
"Wali
dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah
nikahnya tanpa adanya (wali)”.
Dari
beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam
pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai
wanita, karena wali merupakan syarat sah nikah, dan akad nikah yang dilakukan
tanpa wali dinyatakan tidak sah.
2.
Syarat- syarat wali
Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu
pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali. Oleh karena itu maka seorang wali
haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai wali. Syarat-syarat tersebut adalah :
1.
Islam ( orang kafir tidak sah
menjadi wali)
2.
Baligh (anak-anak tidak sah menjadi
wali)
3.
Berakal (orang gila tidak sah
menjadi wali)
4.
Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali)
5.
Adil (orang fasik tidak sah menjadi
wali)
6.
Tidak sedang ihrom atau umroh.
Sayyid Sabiq
dalam bukunya Fiqih Sunnah mengemukakan beberapa persyaratan wali nikah sebagai
berikut :
Syarat-syarat
wali ialah merdeka, berakal sehat dan dewasa. Budak, orang gila dan anak kecil
tidak dapat menjadi wali, karena orang-orang tersebut tidak berhak mewalikan
dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain. Syarat kempat untuk menjadi wali
ialah beragama Islam, jika yang dijadikan wali tersebut orang Islam pula sebab
yang bukan Islam tidak boleh menjadi walinya orang Islam. 5 Allah berfirman:
…ولن يجعل
الله للكافرين على المؤمنين سبيلا (النساء\٤ : ١٤١)
Artinya :
" … Dan Allah tidak akan sekali-kali memberikan jalan kepada orang kafir
menguasai orang-orang mukmin (Q.S. An Nisa: 4/141
Sedangkan
dalam buku Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah,
syarat-syarat menjadi wali adalah:
a.
Beragama Islam
b.
Baligh
c.
Berakal
d.
Tidak dipaksa
e.
Terang lelakinya
f.
Adil (bukan Fasik)
g.
Tidak sedang ihrom haji atau umroh
h.
Tidak dicabut haknya dalam menguasai
harta bendanya oleh pemerintah (Mahjur bissafah).
i.
Tidak rusak pikirannya karena tua
atau sebagainya.
3.
kedudukan wali
Para ulama berbeda pendapat mengenai
kedudukan wali dalam pernikahan. Hal ini dikarenakan tidak adanya satu ayat
atau pun hadits yang secara tegas mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan.
Selain itu hadits-hadits yang dipakai oleh para fuqaha masih diperselisihkan keshahihannya
kecuali hadits Ibnu Abbas.
Berikut ini akan diuraikan beberapa
pendapat para ulama mengenai kedudukan wali dalam pernikahan, yaitu:
a. Jumhur ulama, Imam Syafi'I dan
Imam Malik
Mereka berpendapat bahwa wali
merupakan salah satu rukun perkawinan dan tak ada perkawinan kalau tak ada
wali. Oleh sebab itu perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah
(batal).16 Alasan yang mereka kemukakan, diantaranya:
1. Q.S. An Nur/24 : 3
Artinya : "Dan kawinkanlah
orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki perempuan..."
2. Hadits Nabi SAW dari Abi Musa Al
Asy'ari.
Artinya : “Dari Abi Musa Al- Asy'ari
dari Ayahnya ra berkata Rasulullah SAW bersabda : "Tidak ada suatu pernikahan
kecuali dengan adanya wali" (HR. Ahmad dan Imam Empat dan dibenarkan Ibnu
Madini dan At- Turmudzi dan Ibnu Hiban)
Jumhur berpendapat bahwa hadits ini
secara dzahir menafikan (meniadakan) keabsahan akad nikah tanpa wali dan bukan
menafikan sempurnanya akad nikah.
3. Hadits yang diriwayatkan oleh
Aisyah
Artinya: " Dari Aisyah ra
berkata : Rasulullah SAW bersabda: "Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa
izin walinya maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal.
Jika perempuan itu telah disetubuhi, maka dia berhak menerima mahar dengan
sebab persetubuhan itu. Maka jika para wali enggan (berselisih), maka sultanlah
yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada wali." (HR. Ahmad).
Hadits diatas mengandung beberapa
pengertian
- Akad nikah yang dilaksanakan tanpa
wali , maka hukumnya batal
- Melakukan persetubuhan atas dasar
menganggap akan halalnya mewajibkan kepada laki-laki
pelaku untuk membayar mahar mitsil.
- Wanita yang berselisih dengan
walinya atau gaib atau memang tidak ada wali, maka sulthanlah walinya atau wali
hakim.Selain itu mereka berpendapat perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan,
sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya. Karena itu ia
tidak pandai memilih , sehingga tidak dapat memperoleh tujuan –tujuan utama dalam
hal perkawinan ini. Hal ini mengakibatkan ia tidak diperbolehkan mengurus
langsung aqadnya tetapi hendaklah diserahkan kepada walinya agar tujuan
perkawinan ini benar-benar tercapai dengan sempurna.
b. Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid
Imam Hanafi)
Mereka berpendapat bahwa jika wanita
itu telah baligh dan berakal, maka ia mempunyai hak untuk mengakad nikahkan
dirinya sendiri tanpa wali. Alasan yang mereka kemukakan antara lain:
1. Q.S. Al- Baqarah : 2/232
Artinya : " Apabila kamu
mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para
wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya…"
Menurut mereka ayat diatas merupakan
dalil mengenai kebolehan bagi wanita untuk mengawinkan dirinya sendiri.
2. Dari Hadits Ibnu Abbas r.a. yang
telah disepakati shahihnya, yaitu:
Artinya: " Dari Ibnu Abbas ra,
ia berkata : Nabi SAW bersabda: "Perempuan janda lebih berhak terhadap
dirinya daripada walinya dan anak gadis diminta pertimbangannya dan izinnya
adalah diamnya. Dan pada suatu riwayat Abu Daud dan An- Nasa'I: "Tidak ada
urusan wali terhadap janda; dan gadis yang tidak mempunyai Bapak
(yatimah)"(HR. Bukhori dan Muslim).
Hadits ini memberikan hak sepenuhnya
kepada wanita (janda) mengenai urusan dirinya dan meniadakan campur tangan
orang lain dalam urusan pernikahannya. Sedangkan untuk gadis apabila dimintai
persetujuannya, karena ia masih pemalu maka cukup dengan diamnya Hal ini
dianggap sebagai jawaban persetujuannya.
Selain itu Abu Hanifah melihat lagi
bahwa wali bukanlah syarat dalam akad nikah. Beliau menganalogikan dimana kalau
wanita sudah dewasa, berakal dan cerdas mereka bebas bertasarruf dalam
hukum-hukum mu'amalat menurut syara', maka dalam akad nikah mereka lebih berhak
lagi, karena nikah menyangkut kepentingan mereka secara langsung.
Menurut beliau juga, walaupun wali
bukan syarat sah nikah, tetapi apabila wanita melaksanakan akad nikahnya dengan
pria yang tidak sekufu dengannnya, maka wali mempunyai hak I'tiradh (mencegah
perkawinan).
Selanjutnya Imam-imam yang lain pun
berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan,20 di antaranya:
a. Daud Dzahiry
Beliau berpendapat bahwa bagi janda,
wali tidak menjadi syarat dalam akad nikah, sedangkan bagi gadis wali menjadi
syarat
b. Asy- Sya'bi dan Az- Zuhry
Mereka berpendapat bahwa wali
menjadi syarat kalau calon suami tidak sekufu' dengan calon istri, sebaliknya
kalau calon suami sekufu', maka wali tidak menjadi syarat.
c. Abu Tsur
Beliau berpendapat bahwa nikah sah
apabila wali memberi izin dan batal kalau wali tidak memberi izin.
3. Macam-
macam wali
Wali dalam pernikahan secara umum
ada 3 macam, yaitu wali nasab, wali hakim dan muhakkam, Dibawah ini akan
diuraikan lebih lanjut mengenai ke-3 macam wali tersebut.
1. Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang
terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali.
Wali nasab urutannya adalah:
1. Bapak, kakek (bapak dari bapak)
dan seterusnya ke atas
2. Saudara laki-laki kandung (seibu
sebapak)
3. Saudara laki-laki sebapak
4. Anak laki-laki dari saudara
laki-laki kandung
5. Anak laki-laki dari saudara
laki-laki sebapak an seterusnya ke bawah
6. Paman (saudara dari bapak)
kandung
7. Paman (saudara dari bapak)
sebapak
8. Anak laki-laki paman kandung
9. Anak laki-laki paman sebapak dan
seterusnya ke bawah.
2. Wali Hakim
Wali hakim
adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam
suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila:
1.
Calon mempelai wanita tidak
mempunyai wali nasab sama sekali.
2.
Walinya mafqud, artinya tidak tentu
keberadaannya.
3.
Wali sendiri yang akan menjadi
mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada.
4.
Wali berada ditempat yang jaraknya
sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu
92,5 km.
5.
Wali berada dalam penjara atau
tahanan yang tidak boleh dijumpai.
6.
Wali sedang melakukan ibadah haji
atau umroh.
7.
Anak Zina (dia hanya bernasab dengan
ibunya).
8.
Walinya gila atau fasik.
Apabila
terjadi hal-hal seperti diatas, maka wali hakim berhak untuk menggantikan wali
nasab. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk
bertindak sebagai wali sehingga orang lain yang diberikan kekuasaan untuk
mewakilkan wali nasabnya berhak menjadi wali.
Sesuai
dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri
Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.
3. Wali
Muhakkam
Wali
muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk
bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.
Orang yang
bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang,
disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas,
adil, islam dan laki-laki.
Apabila
suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim, padahal
ditempat itu tidak ada wali hakimnya, maka pernikahan dilangsungkan dengan wali
muhakkam. Caranya ialah kedua calon suami-istri mengangkat seorang yang
mempunyai pengertian tentang hukum-hukum untuk menjadi wali dalam pernikahan
mereka.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Thalaq ialah melepaskan ikatan nikah
dari pihak suami dengan mengucapkan lafadz yang tertentu. Jumhur ulama,
diantaranya Imam mazhab yang empat, mazhab dhahiriyah dan lainnya berpendapat
talak tiga dalam satu lafazh, hukumnya tetap jatuh tiga. Bahkan Ibnu Mulaqqan,
salah seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah bermazhab Syafi’i, mengatakan bahwa
pendapat yang mengatakan talaq tiga sekaligus jatuh satu adalah pendapat syaz
(ganjil) yang menyalahi Ahlussunnah dan dari kalangan Salaf, pendapat tersebut
hanya diriwayat dari al-Hujjaj bin Arthah dan Muhammad bin Ishaq.
Para ulama berbeda pendapat mengenai
kedudukan wali dalam pernikahan. Hal ini dikarenakan tidak adanya satu ayat
atau pun hadits yang secara tegas mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan.
Selain itu hadits-hadits yang dipakai oleh para fuqaha masih diperselisihkan
keshahihannya kecuali hadits Ibnu Abbas.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Al Quranul
Karim
Ø Abd Aziz
et.al, Ensiklopedi Hukum Islam,
Ø Kompilasi
Hukum Islam
Ø Hosen, Ibrahim, FIQH PERBANDINGAN DALAM MASALAH NIKAH-THALAQ-RUDJUK DAN
HUKUM KEWARISAN jilid 1, (Jakarta: Balai Penertbitan & Perpustakaan Islam
Yayasan Ihya ‘ulmiddin Indonesia, 1971), cet. Ke-1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar